Apa Dosa Sumatera, Hingga Tarif Tol Lebih Mahal?

Kenaikan tarif tak sejalan dengan volume, tak mendukung logistik, dan tak berpihak pada pertumbuhan.

Oleh: iNomics

Tol Trans Sumatera dibangun dengan ambisi besar, menghubungkan wilayah, menekan biaya logistik, dan memicu pertumbuhan industri. Tetapi hari ini, ia lebih sering dibaca publik sebagai instrumen fiskal yang diserahkan pada mekanisme tarif, sebelum sempat membuktikan manfaat ekonomi yang dijanjikan. Bagi masyarakat Sumatera, tarif tol bukan sekadar angka, ia adalah harga dari strategi pembangunan yang meminta publik membayar mimpi sebelum mimpi itu menghasilkan apa pun.

Kenaikan tarif Tol Bakauheni–Terbanggi Besar (Bakter) menjadi simbol paling jelas. Pada 2019, ketika ruas 140 km itu mulai beroperasi penuh, tarif golongan I untuk perjalanan ujung ke ujung ditetapkan Rp112.500. Enam tahun kemudian, November 2025, tarif itu melonjak menjadi Rp 254.000, lebih dari 120 persen kenaikan, jauh melampaui inflasi kumulatif periode yang sama, yang hanya berkisar 18–20 persen. Kenaikan serupa juga terjadi pada golongan kendaraan lain. Masyarakat tak sekadar membayar “biaya pemeliharaan”, tetapi membayar struktur pembiayaan yang bergantung pada tarif untuk menutup risiko finansial.

Masalah utamanya adalah pasar belum siap membiayai infrastruktur semahal itu. Lalu lintas harian rata-rata masih rendah. Kendaraan berat yang menjadi indikator aktivitas industri masih minim, lonjakan trafik hanya muncul pada momen libur dan mudik, bukan kegiatan ekonomi reguler. Dalam istilah bisnis, tol ini dibangun terlebih dulu, sementara permintaannya masih “dicari”. Namun karena tagihan pembangunan berjalan terus, solusi paling mudah adalah menaikkan tarif, bukan menurunkan biaya, bukan mengakselerasi permintaan, bukan merombak model bisnis.

Inilah paradoks besar pembangunan infrastruktur Indonesia, ketika negara berasumsi bahwa jalan akan memicu pertumbuhan, tetapi layanan logistik tak otomatis muncul hanya karena beton terhampar. Pertumbuhan ekonomi memerlukan aktivitas hulu-hilir, industri, perdagangan antar wilayah, harmonisasi rantai pasok, insentif pasar, dan kepastian regulasi. Sayangnya, Tol Sumatera hanyalah salah satu bagian, bukan pemicu otomatis.

Konsekuensinya, tarif tinggi justru dapat menghasilkan efek balik, menahan trafik, mengurangi penggunaan angkutan barang, dan mengalihkan kembali arus logistik ke jalur lama yang lebih murah. Dengan kata lain, tol yang dibangun untuk menekan biaya ekonomi justru berpotensi meningkatkan biaya transaksi ekonomi. Dan ketika aktivitas ekonomi tak tumbuh, pendapatan tol tetap rendah, sehingga kebutuhan menaikkan tarif makin besar. Lingkaran setan pun tercipta.

Masalah berikutnya adalah keadilan geografis. Infrastruktur di Jawa sering kali didukung trafik tinggi sehingga bisa menutup biaya operasi lebih cepat, sementara wilayah seperti Sumatera dipaksa membuktikan dirinya layak melalui tarif, bukan aktivitas ekonomi. Publik di wilayah yang ekonominya masih bertumbuh justru membayar lebih mahal untuk membiayai investasi yang dimaksudkan untuk memajukan mereka. Dalam logika ini, Sumatera bukan dipandang sebagai pusat ekonomi potensial, tetapi laboratorium mahal kebijakan konektivitas.

Padahal, salah satu klaim utama pembangunan tol adalah memperkuat daya saing logistik. Namun kenyataan di lapangan memperlihatkan ketegangan antara fungsi publik dan fungsi finansial. Infrastruktur yang dibangun dengan logika investasi akan selalu mencari arus kas yang stabil, ketika trafik gagal memberi kepastian, tarif jadi mekanisme penyelamatan. Negara pun mengalihkan sebagian beban kepada investor swasta atau lembaga pengelola aset negara, dengan dalih “restrukturisasi” dan “optimalisasi”. Tetapi dalam praktek, restrukturisasi hanya memindahkan risiko fiskal dari neraca negara ke dompet publik.

Di titik ini, muncul pertanyaan, apakah tol masih dilihat sebagai pelayanan publik, atau sebagai aset keuangan yang harus menghasilkan imbal balik? Ketika tarif terus naik tanpa perbaikan kualitas layanan, lampu jalan padam, marka pudar, fasilitas darurat terbatas, publik merasa membayar bukan untuk mobilitas, tetapi untuk menjaga agar proyek tetap hidup.

Masalah kualitas ini bukan isu kecil. Keamanan dan pelayanan menjadi indikator paling nyata bagi pengguna, jauh lebih penting daripada angka neraca dan asumsi pertumbuhan. Masyarakat menilai melalui pengalaman kenyamanan berkendara, risiko kecelakaan, kualitas rest area, hingga waktu tempuh riil. Ketika pengalaman tak sepadan dengan harga, legitimasi ekonomi runtuh. Dan ketika legitimasi runtuh, dukungan publik terhadap pembangunan turut rapuh.

Apa jalan keluarnya? Pertama, tarif harus disesuaikan dengan strategi ekonomi, bukan semata kebutuhan fiskal. Model tarif berbasis volume, subsidi logistik untuk angkutan barang, dan skema tarif dinamis bisa mendorong trafik lebih cepat, meningkatkan pendapatan jangka menengah, dan menurunkan risiko finansial jangka panjang. Kedua, integrasi kawasan industri dan logistik harus dipercepat. Tanpa aktivitas hulu-hilir, tol akan tetap menjadi jalur kosong yang mahal. Ketiga, transparansi biaya dan kualitas layanan harus diperkuat. Publik perlu tahu apa yang mereka bayar, dan apa yang mereka dapatkan.

Jika tiga hal ini tak berjalan, Sumatera berisiko memiliki infrastruktur yang megah tetapi tak produktif, menjadi monumen ambisi, bukan fondasi ekonomi. Dan setiap kali tarif naik, pertanyaan publik akan kembali muncul: apakah ini harga kemajuan, atau biaya dari perencanaan yang tak matang?

Perlu dipahami,  di balik setiap gerbang tol, bukan hanya mobil yang lewat, tetapi aspirasi masyarakat tentang pembangunan yang adil. Dan hari ini, suara publik terdengar sangat sederhana,  apa dosa Sumatera, hingga harus membayar tol semahal ini?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *