Ketika Lampung Mendadak Jadi Provinsi Berkapasitas Fiskal Tinggi, Istilah Apaan Sih Ini?

Provinsi Lampung baru saja meraih penghargaan nasional dalam ajang Apresiasi Kinerja Pemerintahan Daerah 2025 yang digelar Kementerian Dalam Negeri bersama Tempo Media Group. Lampung dinobatkan sebagai provinsi terbaik pada kategori Provinsi Berkapasitas Fiskal Tinggi untuk kelompok provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi. Angka penurunan kemiskinan sebesar 0,69 poin dan penurunan kedalaman kemiskinan 0,10 poin dianggap cukup untuk menempatkan Lampung di posisi teratas dalam kategori tersebut.

Oleh: iNomics

Pada titik ini, publik terkejut bukan karena Lampung menerima penghargaan, tetapi karena tiba-tiba dianggap memiliki kapasitas fiskal tinggi. Istilah ini selama bertahun-tahun hampir tidak muncul dalam percakapan publik maupun diskursus akademik tentang ekonomi Lampung. Provinsi ini justru lebih sering dibicarakan dalam konteks ketergantungan yang besar pada transfer pusat, rendahnya kemampuan pendapatan asli daerah, serta sempitnya ruang fiskal untuk belanja publik.

Namun dalam acara penghargaan tersebut, penyelenggara membagi provinsi ke dalam klaster fiskal, yang secara sederhana berarti provinsi yang “punya lebih banyak uang” dibanding provinsi lain. Dengan cara ini, Lampung ditempatkan bukan dalam kelompok provinsi miskin fiskal, melainkan dalam kelompok dengan kapasitas fiskal tinggi, dan menang di dalamnya.

Secara metodologis, pembagian klaster ini masuk akal dalam logika lomba. Daerah yang dinilai “punya sumber daya lebih” diharapkan menunjukkan performa lebih baik. Keberhasilan Lampung menurunkan kemiskinan dianggap menonjol karena dilakukan dalam konteks fiskal yang relatif “berkapasitas”.

Tetapi justru di sinilah problemnya. Kategori ini adalah konstruksi internal acara, bukan status ekonomi yang telah lama diakui publik atau ditopang data fiskal yang kuat. Ia muncul dalam ruang event, bukan dalam literatur kebijakan fiskal yang mapan. Dengan kata lain, Lampung menjadi “fiskal tinggi” di atas panggung, bukan di dalam buku anggaran.

Realitasnya, struktur fiskal Lampung masih menunjukkan karakter provinsi menengah yang bergantung pada pusat. PAD tahunan relatif kecil sebagai proporsi APBD, basis pajak lemah, sektor industri terbatas, dan belanja publik sering kali terkunci untuk kebutuhan rutin. Ruang fiskal untuk inovasi dan intervensi sosial masih sempit, sementara kapasitas fiskal sebagai indeks kemandirian ekonomi daerah masih jauh dari ideal.

Inilah mengapa label “kapasitas fiskal tinggi” terasa tiba-tiba, bahkan janggal. Bukan karena Lampung tak boleh menang penghargaan, tapi karena istilah ini berisiko menimbulkan kesan bahwa provinsi ini telah mencapai tingkat kemandirian fiskal yang sesungguhnya belum terjadi.

Dalam konteks penghargaan, prestasi Lampung sah dan patut diapresiasi. Tetapi dalam konteks kebijakan, klaim keberhasilan harus diukur lebih hati-hati. Menurunkan angka kemiskinan adalah hasil kombinasi banyak faktor, termasuk tren nasional, intervensi pemerintah pusat, dan peningkatan belanja sosial dari berbagai skema. Menurut logika sederhana, sulit mengklaim keberhasilan sepenuhnya sebagai buah tangan pemerintah daerah, apalagi jika kemandirian fiskalnya masih rendah.

Sementara publik menilai pemerintahan dari pengalaman sehari-hari, soal akses layanan, kualitas infrastruktur, harga kebutuhan pokok, dan peluang kerja. Di level ini, penghargaan tidak otomatis terkonversi menjadi kesejahteraan.

Ada bahaya politis jika penghargaan seperti ini digunakan sebagai argumen tunggal untuk meneguhkan narasi keberhasilan. Data kemiskinan harus terus dilihat dalam tren panjang, bukan hanya dalam snapshot tahunan. Dan apa pun kategorinya, fiskal tinggi atau rendah, Lampung tetap menghadapi tantangan struktural yang memerlukan strategi lebih dari sekadar kemampuan memenangkan lomba.

Pada akhirnya, penghargaan adalah simbol, bukan substansi. Ia bisa membantu membangun optimisme, tetapi tidak boleh menghalangi refleksi kritis. Jika Lampung benar-benar ingin menjadi provinsi dengan kapasitas fiskal tinggi, bukan hanya dalam klasifikasi acara, maka pekerjaan rumahnya masih banyak, mulai dari memperkuat basis pendapatan, mendorong sektor produktif, dan memperluas ruang fiskal agar kebijakan sosial tidak sekadar bergantung pada instrumen pusat.

Lampung berhak bangga karena menang. Tetapi masyarakat juga berhak bertanya, apakah provinsi ini benar-benar kaya, atau kita hanya menang karena klasifikasi yang diciptakan untuk panggung penghargaan?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *